Selasa, 03 Mei 2011

Analisis Hermeneutika sajak Emha


A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan puisi di Indonesia, beberapa pemikiran-pemikiran hasil perenungan, motif dan semangat puitik pun mewarnai khazanah perpuisian di Indonesia. Abdul Hadi W. M. mengatakan bahwa, “Kekuatan sebuah puisi yang genuine terletak pada bangunan citra (image), baik citra lihatan maupun citra simboliknya, dan metafora”. Beberapa penyair memandang bahwa, fungsi puisi adalah untuk memberikan pengajaran atau menyajikan tanggapan terhadap kenyataan, khususnya kenyataan sosial. Penyair yang memandang fungsi puisi seperti di atas, cenderung menjadikan kata-kata sebagai sarana pengungkapan keadaan yang ada dalam masyarakat atau menjadikan kata-kata untuk menyampaikan pengajaran (Dikutip dari Makalah yang dibacakan pada Acara: “Aruh Sastra Kalsel”, Desember 2009, di Batola Marabahan, Kalimantan).
Sejak tiga dasawarsa terakhir telah banyak muncul karya penulis Muslim yang bukan saja signifikan serta mendapat penerimaan luas di kalangan pembaca tua dan muda, tetapi tidak sedikit dari karya-karya tersebut benar-benar didasarkan wawasan estetika dan pandangan dunia (worldview) yang berkembang dalam tradisi panjang intelektual Islam. Khususnya karya-karya bercorak sufistik dan sosial-keagamaan sebagai nampak dalam karya-karya yang ditulis oleh Emha Ainun Najib yang akrab dipanggil Cak Nun.
Berangkat dari uraian di atas, penulis akan menguraikan salah satu sajak yang bercorak sufistik dan sosial-keagamaan “Begitu Engkau Bersujud” karya Emha Ainun Najib. Analisis sajak ini nantinya berdasarkan konsep pembacaan hermeneutik (penafsiran). Diharapkan dengan adanya penafsiran dalam satu sajak ini diperoleh suatu kesimpulan atau benang merah pada sajak “Begitu Engkau Bersujud” karya Emha Ainun Najib ini.

2.      Rumusan Masalah
Cakupan permasalahan dalam makalah ini adalah:
a.       Metafora dan simbol dalam sajak “Begitu Engkau Bersujud”?
b.      Konsep Sujud dalam sajak “Begitu Engkau Bersujud”?

3.      Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun guna mengurai/memaparkan lebih jauh tentang bagaimana menjadikan kata-kata yang memiliki bahasa yang puitik untuk menyampaikan pengajaran. Khususnya ajakan moral Emha Ainun Najib lewat salah satu puisinya yang berjudul “Begitu Engkau Bersujud”.
Perlu diketahui, di sini penulis sengaja menyederhanakan bahasa atau istilah guna memudahkan dalam pemahaman pembaca dalam mencermati isi dari makalah ini.

B.     LANDASAN TEORI
1.      Konsep Hermeneutika
Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoeur, 1981: 43). Pemaknaan atau pemahaman teks dalam konsep ini lebih kompleks karena mengaitkan teks dengan dunia luar teks. Teks baru akan mendapatkan arti jika sudah dikaitkan dengan rujukan dan konvensi sastra yang bersangkutan. Dalam pembacaan hermeneutik ini sajak dibaca berdasarkan konvensi-konvensi sastra menurut sistem semiotik tingkat kedua. Dapat dikatakan pula sebagai intepretasi atau pemahaman lewat penafsiran atau pentakwilan suatu karya sastra, baik dari dalam teks (Sense) itu sendiri maupun dari luar teks (Reference). Sehingga, sajak dapat dimaknai dengan melihat arti bahasa dan suasana, perasaan, intensitas arti, konotasi, dan daya liris (Pradopo, 1987: 123).
Arti sastra itu merupakan arti dari arti (meaning of meaning), Untuk membedakannya (dari arti bahasa), arti sastra itu disebut makna (significance) (Pradopo: 1987: 122). Makna merupakan konotasi yang dihasilkan dari pemakaian bahasa yang tidak pada umumnya. karena puisi itu adalah ekspresi tidak langsung, menya­takan suatu hal dengan arti yang lain. ketaklangsungan ekspresi itu terjadi, karena adanya penggantian, penyimpangan, dan penciptaan arti oleh penulisnya sendiri.
Dari uraia diatas dapat dikatakan bahwa, Interpretasi secara hermeneutika berarti cara melakukan pemaknaan dan pemahaman dengan  mengaitkan teks dalam sajak dengan wacana yang ada diluar teks yang berkaitan. Dengan cara ini diharapkan didapatkan makna atau arti sajak dengan menghubungkan rujukan atau reverensi yang relevan dengan wacana di luar sajak.

2.      Teori Metafora dan Simbol
a.      Metafora
Sebagai salah satu wujud kreativitas bahasa, metafora banyak dijumpai dalam lingkungan sastra. Dalam ilmu retorika, metafora adalah semacam analogi yang memperbandingkan dua hal secara langsung. Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan yang lain, yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd, 1970:15).
Dalam karya sastra, metafora biasanya bermakna figuratif yaitu sebuah bentuk kebahasaan yang maknanya sengaja disimpangkan kepada referen yang lain untuk berbagai tujuan, seperti tujuan estetis (keindahan), etis (Moral) dan insultif (penghinaan).
Fungsi metafora itu sendiri biasanya untuk menamai suatu benda yang sebelumnya tidak ada namanya, untuk memperjelas informasi, untuk memperoleh efek seni dan menghindari kemonotonan berbahasa. Metafora dalam suatu sajak sebagai sarana puitik metafora bisa mempengaruhi kedalaman makna suatu sajak. Imajinasi yang ditimbulkan metafora ini membuat makna harfiah berkonotasi luas dan menjadi lebih hidup.

b.      Teori Simbol
Dari beberapa pendapat yang membicarakan teori simbol, maka di sini penuis mengambil kesimpulan bahwa simbol merupakan tanda yang di situ pengertiannya tergantung dari konvensi masyarakat atau artinya tergantung dari persetujuan masyarakat tertentu. Simbol (tanda yang sesuai) adalah hubungan antara penanda dengan petanda yang tidak bersifat alamiah melainkan merupakan kesepakatan masyarakat semata-mata
Pradopo mencontohkan, misalnya kata ibu berarti “orang yang melahirkan kita” itu terjadinya atas konvensi atau perjanjian masyarakat bahasa Indonesia, sedang masyarakat bahasa inggris menyebutya mother, prancis: Ia mere


C.    ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN
1.      Sajak “Begitu Engkau Bersujud”

BEGITU ENGKAU BERSUJUD
Karya Emha Ainun Najib
(1)   Begitu engkau bersujud, terbangunlah ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat.
(2)   Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara adzan.

(3)   Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah.

(4)   Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid.
 
 
  1987

  1. Konsep Sujud
Kata “sujud” dalam kerangka lughoh arab, berasal dari kata sajada  kemudian di masdar-kan (dinominakan dalam bahasa indonesia) menjadi sujudan dan kemudian diserap dalam bahasa indonesia menjadi sujud. Secara semantis maknanya sama dari asal katanya yaitu menurut kamus umum bahasa indonesia adalah berlutut serta menundukkan kepala sampai kelantai.
Konsep “sujud” secara harfiah berarti kita merendahkan kepala kita sampai menyentuh tanah. “kepala” yang bagi kita merupakan bagian dari tubuh yang paling kita muliakan, paling fitrah, paling suci, terhormat dan terjaga, dengan sujud maka kita benar-benar merendah bahkan membuat kepala kita satu derajat dengan telapak kaki kita. Dengan sujud pula kita menaruh atau meletakkan segala ke-Aku-an ataupun harga diri dihadapan pencipta kita.



2.1. Konsep Sujud Menurut Islam
Sujud itu umum dilakukan, ia tidak “khusus” ada dalam shalat. Dalam islam, sujud dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Sujud adalah lambang “kerendahan qalbu”. Sujud adalah indikasi “tawadhu”. Tawadhu inilah yang sangat disukai oleh Allah. Allah berfirman dalam ayatnya: “Fasjud waqtarib”, maka hendaklah kamu bersujud dan mendekatkan diri (kepada-Nya).
Sujud itu merupakan bukti ibadah yang ikhlas untuk Allah. Karena jiwa dan raganya tunduk dan patuh kepada Allah. Itulah yang diinginkan Allah dari orang-orang yang beriman. Bahkan secara khusus Allah menyuruh Maryam al-batul untuk sujud kepada-Nya (QS. Ali Imron(3): 43).
Sujud itu memuji dan mengagungkan Allah. Dengan sangat ‘mesra”Allah meminta hal itu dari kekasihnya, habibullah Muhammad SAW. ”maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud” (QS. Al-Hijr (15): 98).
Sebenarnya sujud adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan kita. Karena kesempurnaan seorang hamba terletak pada sujudnya. Kenikmatan itu sudah dirasakan oleh kanjeng nabi muhammad SAW. Makanya beliau menganjurkan kepada kita, “Hendaklah engkau memperbanyak sujud. Karena tidaklah engkau sujud satu kali untuk Allah, melainkan diangkat derajatmu satu tingkat, da dihapuskan satu kesalahanmu.” (HR. Muslim). Nabi menganjurkan bahwa kemuliaan dapat diraih lewat ketundukan jiwa, ketawadhu’an qalbu, yakni “sujud”.

2.2. 

Konsep “sujud” Emha, tidak hanya sebatas makna denotasi pada pengertian jasad atau tubuh kita yang berjongkok kemudian mencium tanah tetapi secara luas berarti segala milik kita yang terdiri dari jasad, ruh, akal, harta dan semua yang kita miliki diajak bersujud dan merendah dihadapan sang khalik. Pada sajak “Ketika Engkau Bersembahyang”, Emha benar-benar mengatakan bahwa sujud merupakan satu-satunya alasan mengapa kita diberikan kehidupan.  “Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup/ Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup/ Ilmu dan peradaban takkan sampai/ Kepada asal mula setiap jiwa kembali/.


  1. Metafora dan Simbol dalam Sajak “Begitu Engkau Bersujud”
Judul sajak “Begitu Engkau Bersujud” mengimajinasikan kita atau membawa bayangan kita ketika melakukan kewajiban bersembahyang, kita juga akan melakukan salah satu rukunnya yaitu sujud. Simbol “sujud” secara harfiah berarti kita merendahkan kepala kita sampai menyentuh tanah. “kepala” yang bagi kita merupakan bagian dari tubuh yang paling terhormat dan terjaga, dengan sujud maka kita benar-benar menaruh atau meletakkan segala ke-Aku-an ataupun harga diri dihadapan pencipta kita. Sama artinya dengan kita meninggikan Allah yang memang maha tinggi.
Disini Emha menghubungkan sujud dengan masjid. Mari kita lihat kutipan bait pertama berikut ini:
(1)   Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid

Pada hakikatnya dimanapun tempat yang kita pergunakan untuk bersujud akan menjadi “masjid” (tempat sujud). Ilustrasi “terbangunlah ruang yang kau tempati menjadi sebuah masjid” ini hanya penggambaran kepada suatu yang tidak tampak yang masih bersifat abstrak seperti “tempat sujud” menjadi terasa nyata yaitu kata “masjid”. Dari ilustrasi ini maka diperoleh keterangan bahwa, setiap kali kita bersujud maka setiap itulah kita membangun kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain. Bisa juga mengandung arti pahala dari satu kali sujud itu sebanding dengan nilai pahala ketika kita bersedekah membangun masjid. Masjid itulah yang nantinya akan menjadi aset pahala kita dan masjid itu juga sebagai tempat kita berteduh dan berlindung.


(1)  
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Dari Gambaran yang Emha sampaikan jika kita mau menyempatkan sekali saja untuk bersujud maka itu sama saja dengan kita membangun satu buah masjid. Bayangkan jika kita berkali-kali melakukan sujud. Berapa banyak rumah Allah yang kita bangun, bisakah kita hitung hingga menjadi tambah teduh rumah kita. Menjadikan perlindungan yang berlapis tentunya. Otomatis berlipatgandalah hitungan pahala kita.
(1)  
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat.
Tak terhitung jumlahnya, sampai-sampai mendekati kepada kursi Allah. Memasuki alam makrifat berupa menjadi kekasih Allah. Seperti yang digambarkan pada bait pertama baris terakhir sajak ini “memasuki alam makrifat”. Dalam konsep maqam Islam, istilah makrifat berada satu tingkat dalam ilmu tarikat berposisi tingkatannya diatas syariat. Dengan kata lain, dia mengetahui apa yang orang lain tidak mengetahuinya atau tidak menyadarinya. Dalam tingkatan ini, orang akan mencondongkan segala jiwa, hatinya, fikirnya, kepada dzatullah.

(2)   Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Metafora “sajadah kemuliaan” mengiaskan jalan menuju tuhan. Ini akan menjadi petunjuk jika kita mau bersedekah, membagi harta kepada sesama dengan mengharap ridho tuhan. ”Harta” disini meliputi kekayaan yang berbentuk harta dan ilmu. Karna sesungguhnya “terdapat harta orang fakir dalam kekayaan yang kita miliki” dan dalam hal ilmu, Emha mengajak kita membagi ilmu kita kepada orang lain. Ini sejalan dengan hadist Nabi “Barang siapa yang menyembunyikan ilmu, maka pada hari kiamat, akan dibelenggu tagannya dengan api neraka”.
(2)  
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara adzan.

Emha menggambarkan dari simbol “setiap butir beras” yang diberikan kepada orang yang membutuhkan “piring ke-ilahi-an” imbalan atau pahala sebesar orang yang bersembahyang. Begitu juga dengan symbol “air” kebaikan-kebaikan atau sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain akan mengajak orang lain kepada kebaikan seperti hal nya “lahir menjadi kumandang adzan”.
           
(3)   Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah

Dari untaian bait diatas, Emha menuturkan jika kita mau menggunakan semua ruh dan tubuh hanya untuk Allah maka, itu sama artinya kita telah melebur dengan Allah.  Menjalankan semua yang diperintahkan/ yang disukai Allah dan menjauhi segala larangan Allah/ yang dibenci Allah. Istilahnya adalah bertaqwa kepada Allah. Dengan taqwa maka kita akan mencapai apa yang digambarkan Emha melalui bait sajak diatas.

(4)   Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid

Bait terakhir dalam sajak ini merupakan kesimpulan dari ide bait-bait sebelumnya tentang bagaimana berprilaku kepada Allah. Dalam bait ini digambarkan bahwa “menjadilah Engkau masjid”.
Dalam puisinya yang lain, seperti sajak “Seribu Masjid Satu Jumlahnya” Emha pun mengatakan bahwa, jasad dan ruh manusia adalah masjid. Mari cermati penggalan sajak “Seribu Masjid Satu Jumlahnya” berikut ini:

Masjid itu dua macamnya
 Satu ruh, lainnya badan
 Satu di atas tanah berdiri
 Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunya
 Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
 Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
 Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

Sajak di atas semakin mengimplisitkan bahwa manusia yang di dalamnya terdapat unsur ruh dan jasad, pada hakikatnya adalah sebuah masjid. Maka disini kita menjadi masjid “menjadilah engkau masjid” berarti jiwa dan raga kita dengan bersama-sama telah bersujud dan tunduk kepada Allah SWT.

D.    KESIMPULAN
Dari serangkaian uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sajak “Begitu Engkau Bersujud” difungsikan oleh Emha sebagai sarana pengajaran tentang bagaimana seharusnya berprilaku kepada Allah. Kita secara halus diajak bersujud atau merendahkan diri, meletakkan segala ke-Aku-an kita dihadapan Allah, pencipta kita.
Emha meukiskan dari ajakan untuk beribadah pada bait-bait awal sajak, kemudian secara bertahap emha memberikan gambaran apa yang akan kita dapat dari hasil sujud itu, kemudian perlahan Emha menuntun kita untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah, dengan kata lain menjadi kekasih Allah.



DAFTAR PUSTAKA

Istiyono, Wahyu OS, Y. 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Batam Centre: Karisma
         Publishing Group.
Jabrohim. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Kurniawan, Heru.2009.Mistisisme Cahaya.Yogyakarta: Grafindo Litera Media
Poerwadarminto, W.J.S.2005.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Pradopo, Rachmat Djoko.1987.Pengkajian Puisi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wachid B.S., Abdul.2009.Analisis Struktural Semiotik Puisi Surealistis Religius D. Zawawi
          Imron.Yogyakarta: Cinta Buku.

WEBSITE
Depe.2009. Kumpulan Puisi Pujangga Besar Indonesia. (online) http://allmysite.co.nr, diakses 
         pada tanggal 17 April 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar